
Melanjutkan posting sebelumnya tentang insiden ledakan akibat kebocoran LNG, dalam posting kali ini akan saya uraikan sedikit tentang apa yang terjadi menurut analisa kami.
Kebocoran LNG terjadi di pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB dan ledakan baru terjadi pada tengah malam. Jadi ada rentang waktu 14 jam. Seperti disampaikan sebelumnya, kebocoran LNG terjadi setiap empat jam selama beberapa saat sejak mulai bocor di pukul 10.00 WIB itu. Sebelumnya pipa rundown sudah dikosongkan dengan cara mendorong LNG di dalamnya dengan gas derime (bebas air dan HC berat) ke arah Tangki Penyimpan LNG. Sayangnya tidak dilakukan pengukuran temperatur pipa rundown untuk memastikan sudah tidak ada lagi LNG yang tersisa di dalamnya.
Oleh karena itu sangat mungkin sisa-sisa cairan LNG masih ada pada dinding-dinding pipa rundown. Sisa cairan LNG ini selanjutnya terkumpul di lokasi terendah di sepanjang pipa rundown ketika gas derime sudah dihentikan. Ilustrasinya digambarkan dalam skema berikut ini.

Di lokasi pipa rundown paling rendah terjadi pengumpulan cairan LNG. Panas dari udara sekitar merembet sampai ke dalam pipa rundown dan memanaskan cairan LNG ini. Akibatnya terjadi penguapan LNG yang sebagian tetap tertahan di dalam tumpukan cairan LNG tersebut. Tekanan uap LNG ini semakin lama semakin besar. Pada akhirnya tekanannya cukup besar untuk bisa melawan head cairan LNG ke arah Tangki Penyimpan LNG maupun ke arah valve yang bocor. Hal inilah yang menjelaskan mengapa terjadi sejumlah cairan LNG keluar dari valve tie-in Train-F setiap tenggang waktu kurang lebih empat jam. Diperkirakan inilah waktu yang diperlukan oleh panas udara luar untuk memanaskan cairan LNG di dalam pipa rundown sampai tekanan uapnya cukup besar untuk melawah head cairan LNG tersebut. Perhatikan ilustrasi berikut ini.

Ketika pertama kali cairan LNG keluar dari valve tie-in Train-F yang bocor ini, semua cairan langsung menguap karena perbedaan temperatur yang besar dengan udara di sekitarnya. Tetapi setelah lebih 14 jam udara sekitarnya sudah menjadi cukup dingin sehingga cairan LNG tidak sempat menguap habis semua dan masuk ke dalam parit yang berisi air.
Perbedaan temperatur cairan LNG yang masuk dengan air yang ada di dalam parit sangat tinggi (25 deg C + 160 deg C). Terjadi peristiwa yang dikenal dengan fenomena "Rapid Phase Transition" (RPT), yaitu perubahan fase yang terjadi dengan sangat cepat. Kita bisa menganalogikan fenomena ini dengan air yang disiramkan ke atas minyak goreng panas.
Uap LNG yang terbentuk memiliki volume 600 kali lebih besar dari pada fase cairnya. Kebutuhan volume uap yang sangat besar dan tiba-tiba ini akhirnya menimbulkan kenaikan tekanan di dalam parit dengan sangat cepat. Inilah yang menyebabkan beton yang membentuk parit itu akhirnya meledak. Beton setebal 50 cm terbelah sepanjang dua meter dan terkuak ke atas setinggi satu meter. Sebuah lori ditemukan sudah berada di atas pipe rack. Begitupun pipe rack di area itu (area fraksinasi) rusak berat. Dibutuhkan enam bulan untuk menormalkan kembali Train-E.

Pelajaran apa saja yang bisa diambil? Pertama, jika melakukan pengosongan cairan LNG di dalam pipa, lakukan pengukuran temperatur untuk memastikan semua sisa cairan LNG sudah tidak ada lagi. Kumpulan cairan LNG di dalam pipa berpotensi masalah dalam jangka waktu tertentu. Kedua, hindari terjadinya kontak cairan LNG dengan air di dalam ruang tertutup seperti parit atau semacamnya.
Comments