top of page
  • Gambar penulisHelfia

Konsep Safety Berbasis Perilaku

Konsep safety berbasis perilaku dikembangkan oleh H.W. Heinrich pada tahun 1930an dan 1940an. Heinrich meneliti ratusan laporan asuransi dan menyimpulkan bahwa hampir 90% kecelakaan industri dapat disimpulkan akibat kesalahan pekerja atau "kegagalan manusia". Berdasarkan temuannya ini Heinrich menetapkan bahwa para pekerja yang menyebabkan kecelakaan menerima warisan bakat yang menyebabkan mereka lebih rawan kecelakaan. Satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah dengan mengamati dan mengubah perilaku pekerja. Hal ini terlihat sebagai sebuah konsep sederhana tetapi menghasilkan penyalahan terhadap pekerja atas kecelakaan yang dialaminya dan terkadang tidak mempertimbangkan faktor-faktor pendukung lainnya.


Tiga masalah

Sekarang ini para ahli industri melaporkan bahwa hal ini merupakan sebuah pendekatan yang sudah usang yang meninggalkan kekosongan dalam lingkungan keselamatan kerja. Ada tiga penjelasan yang umumnya diungkap mengapa hanya menggunakan gaya berbasis perilaku semata tidaklah efektif. Pertama adalah penyalahan langsung atau tanggungjawab atas kecelakaan dan insiden. Jika sebuah program meletakkan sasarannya langsung terhadap para pekerja dan tindakan-tindakan mereka, kita kehilangan penglihatan atas bagian kedua dari persamaan yaitu faktor-faktor eksternal. Dengan 100% fokus pada tindakan-tindakan para pekerja saja, faktor-faktor eksternal seperti manajemen program keselamatan kerja, kendali engineering, komunikasi dan pelatihan-pelatihan best practice mungkin terabaikan. Tanpa informasi yang utuh, sebuah organisasi menghalangi perbaikan-perbaikan dalam bidang-bidang ini.


Metoda yang umum digunakan selain itu yang berhubungan dengan safety berbasis perilaku adalah program insentif. Bergantung pada bagaimana insentif digunakan, hal itu bisa berdampak buruk terhadap program keselamatan kerja kita. Jika para pekerja diberi imbalan atas batasan injury rate atau hari-hari tanpa insiden, mereka mungkin tidak mau melaporkan insiden. Hal ini dapat menyebabkan near miss tidak dilaporkan dan menempatkan keselamatan pekerja menjadi rapuh. Program-program insentif harus direncanakan secara matang dan dipertimbangkan sebelum dilaksanakan untuk menjamin bahwa hal itu tidak melemahkan para pekerja dari mengambil peran aktif dalam hal keselamatan kerja.


Sebagaimana dengan insentif dan tanggungjawab, pengamatan anonim menjadi isu ketiga yang bisa timbul dengan fokus 100% pada safety berdasarkan perilaku. Dengan menggunakan pengamatan anonim dari para pekerja yang lain, setiap pekerja bertanggungjawab melaporkan perilaku tidak safe dari rekan sekerjanya ke manajemen. Hal ini dapat menimbulkan konflik dan tekanan dari rekan sekerja terhadap para pekerja dan kekhawatiran bahwa isu-isu safety tidak diperhatikan lagi. Sangatlah penting untuk mendorong para pekerja melaporkan isu-isu tanpa rasa takut terhadap akibat negatif, sebagaimana juga mendorong mereka melaporkan perilaku yang baik dan berbagi ide-ide untuk memperbaiki safety di tempat kerja.


Menciptakan Budaya Keselamatan Kerja

Budaya keselamatan kerja adalah pendekatan luas, mencakup seluruh organisasi terhadap manajemen keselamatan kerja. Budaya keselamatan kerja adalah hasil akhir dari gabungan upaya perorangan dan kelompok terhadap nilai-nilai, sikap, tujuan dan ketercukupan sebuah program kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam menciptakan budaya keselamatan kerja, seluruh tingkat manajemen sangat dihargai dalam hal bagaimana mereka bertindak terhadap para pekerja dan dalam kesehariannya. Komitmen manajemen atas terhadap keselamatan tempat kerja membantu para pekerja untuk lebih serius dan menterjemahkannya ke dalam lingkungan kerja yang lebih aman bagi setiap orang. Tanggungjawab untuk memperkuat budaya keselamatan kerja bisa dimulai dari manajemen, tetapi ditularkan ke bawah ke tiap-tiap pekerja di dalam perusahaan. Setiap orang memiliki peran dalam menjaga diri sendiri dan orang lain agar bekerja dengan selamat.


Perusahaan yang memiliki budaya keselamatan kerja menunjukkan perhatian yang besar terhadap kesejahteraan pekerja, dan ini tercermin di semua tingkat dan bagian di dalam organisasi. Praktek pengamatan anonim dihilangkan dan diganti dengan manajemen yang menyediakan waktunya untuk mengunjungi fasilitas mereka untuk memantau dan mendukung secara positip nilai-nilai perusahaan dalam setiap insiden yang baik maupun buruk. Penghargaan dan insentif tetap bisa dilakukan jika mereka diberi penghargaan dengan alasan yang tepat seperti melaporkan insiden termasuk near miss. Dalam sebuah budaya keselamatan kerja, para pemimpin mengelola pengetahuan dari semua area dan menggunakannya untuk memperbaiki dan meningkatkan keselamatan kerja di setiap lini.


Satu hal yang bisa membantu manajemen dalam membangun budaya keselamatan kerja adalah menunjuk "champion" di setiap lokasi. Orang ini bertanggungjawab untuk memahami apa-apa yang diperlukan untuk membangun budaya keselamatan kerja di lokasi kerjanya termasuk bahaya-bahaya, peluang perbaikan, dan pelatihan pekerja yang diperlukan untuk memperbaiki praktek-praktek keselamatan kerja. Banyak perusahaan membebankan peran ini kepada manajer keselamatan kerja tetapi bisa juga kepada wakil dari HR, manajer shift atau manajer pabrik, tergantung pada sumber daya perusahaan masing-masing.


Helfia Nil Chalis





5 tampilan0 komentar
bottom of page